Rabu, 14 Maret 2012

pentingnya pendidikan




Ketika saya liburan kuliah semester genap, saya di ajak oleh salah seorang teman untuk mengajar di sebuah tempat pembelajaran kanak-kanak, lebih tepatnya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau bias dibilang pendidikan campuran bagi anak usia dini yang mencakup PAUD, TK atau bimbel.
Kebetulan saya tinggal di daerah pinggiran Kota Bogor, daerah yang belum sepenuhnya terjamah oleh pendidikan yang cukup. Di sekitar tempat saya mengajar masih banyak anak-anak yang belum menuntaskan kewajiban pendidikannya, seperti belajar CALISTUNG (Baca Tulis dan Hitung). Anak-anak di sini hanya mengenal sawah, bercocok tanam atau berkeliling menjajakan kayu bakar dan dagangan lainnya, yang jauh dari hak mereka untuk mengenyam ilmu pendidikan.
Saat pertama kali saya mengajar, saya fikir saya akan menemukan anak-anak yang terlihat kompak berseragam dan bersepatu tertutup. Ternyata perkiraan saya salah, hampir sebagian anak di daerah tersebut tidak mampu untuk membeli perlengkapan sekolah, salah satunya adalah seragam dan sepatu.
Anak-anak yang saya lihatpun umurnya telah melampaui batas pendidikan anak usia dini (PAUD), mayoritas berumur 3 tahun tetapi ada pula yang berumur 6 tahun, 7 tahun, bahkan 9 tahun. Alasan orang tua mereka memasukkan anak-anaknya kedalam PAUD karena hanya untu sebagai syarat agar dapat membaca, menulis dan menghitung, agar dapat berbaur di masyarakat luas nantinya. Adapula alasan lainnya seperti agar anak mereka tidak mudah untuk dibodohi oleh orang lain.
Berbagai alasan menjadi salah satu pendukung bagi orang tua disana untuk mengajarkan anak-anak mereka agar mau belajar, walaupun hanya sekedar baca, tulis atau hitung. Sebenarnya menurut salah satu situs yang saya kutip tentang pendidikan yang didalamnya menjelaskan banyak hal yang dapat menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan.


Pendidikan Wajib Belajar
Program wajib belajar (wajar) 9 tahun telah dicanangkan sejak tahun 1994 dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tanggal 2 Mei 1994. Ini merupakan kelanjutan dari program wajar 6 tahun yang ditetapkan pada 2 Mei 1984.

Tahun 2008 telah ditetapkan pemerintah sebagai tahun akhir di mana wajib belajar harus dituntaskan (Inpres No. 5 tahun 2006). Agak berbeda dengan data dari badan internasional, Departemen Pendidikan Nasional mencatat bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar (SD) akhir tahun 2007 mencapai 94,90 persen, sementara Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 92,52 persen. Angka ini telah mendekati target pencapaian sebesar 95 persen. Meski demikian, lebih dari 900 ribu anak masih membutuhkan pendidikan kesetaraan pada tahun 2008. Selain itu, dari sekitar 200 ribu anak berkebutuhan khusus usia SD/SMP yang terdata hanya sekitar 55 ribu orang (25 persen) yang bersekolah. Pada dasarnya urusan pendidikan yang adalah hak untuk semua tidak hanya berkisar pada perhitungan APM dan APK semata, namun terlebih harus menukik pada pemastian kualitas pendidikan itu sendiri terhadap peserta didiknya. Banyak kalangan menilai sistem pendidikan di Indonesia belum dapat membekali anak dengan kompetensi dasar yang diperlukan untuk mempertahankan dan mengupayakan kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Tidak memadainya anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan menjadi salah satu kendala untuk mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan. APBN 2008 mengalokasikan dana sebesar Rp 49,4 triliun dari total belanja negara sebesar 826,9 trilyun. Angka ini belum memenuhi kuota sebesar 20 persen seperti yang telah disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR. Kurangnya pendanaan untuk pendidikan terlihat pula dari rendahnya anggaran untuk program wajar. Sebagai contoh, tahun 2005, Depdiknas menganggarkan Rp 5,848 triliun. Dana tersebut tidak mencukupi kebutuhan 29 juta anak usia sekolah dasar karena minimal dana yang harus dikeluarkan per anak setiap tahunnya adalah Rp 1 juta. Sebagian besar orangtua juga tidak mampu menanggung biaya pendidikan anak-anaknya. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas tahun 2003, beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar 63,35-87,75 persen dari biaya pendidikan total. Biaya yang ditanggung pemerintah atau masyarakat (selain orang tua/siswa) hanya berkisar antara 12,22-36,65 persen. Akibatnya, tidak sedikit anak yang putus sekolah. Pada tahun 2007, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka putus sekolah di tingkat SD dan MI sebanyak 684.967 anak. Angka ini turun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 702.066 Kendala biaya kerap menjadi faktor utama penghalang anak mengakses pendidikan. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003 menunjukkan 67 persen masyarakat menyatakan bahwa ketiadaan biaya memaksa mereka memutuskan tidak bersekolah atau putus sekolah. Faktor lainnya adalah larangan orangtua, keharusan anak bekerja menopang kehidupan keluarga serta faktor geografis. Masih kuatnya anggapan masyarakat bahwa pendidikan terakhir cukup hanya sampai SD amat menghambat pencapaian pendidikan untuk semua. Kenyataan ini membuktikan bahwa pendidikan SD benar-benar menjadi satu-satunya kesempatan bagi anak dari keluarga dan masyarakt miskin untuk mengenyam pendidikan formal. Karena itu peningkatan kualitas pendidikan SD menjadi sebuah keharusan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk mengupayakan pendidikan dasar berkualitas yang mampu membekali anak dengan keberaksaraan fungsional guna mengembangkan kehidupannya secara optimal. Persoalan tenaga pendidik menjadi pemicu lain rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2004 hanya 44 persen guru SD berpendidikan D2, 41 persen berpendidikan SPG, dan 9 persen bergelar sarjana. Guru SMP berpendidikan sarjana pun hanya sekitar 50 persen. Faktor penghambat lainnya adalah keengganan bersekolah, buku pelajaran yang kurang dan mahal serta ketidaksetaraan jender ikut memberi sumbangsih tersendiri. Reformasi buku murah yang akan diluncurkan Depdiknas pada pertengahan tahun 2008 merupakan terobosan untuk mengatasi kurangnya kuantitas dan mahalnya harga jual buku. Pembelian hak cipta ratusan buku teks pelajaran SD hingga SMA sesuai standar penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan pemberian kebebasan bagi siapapun untuk mengakses buku-buku tersebut secara online menunjukkan bahwa perjalanan memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan telah dimulai. Dari reformasi ini diharapkan harga jual buku pelajaran hanya tinggal sepertiga dari harga yang ada sekarang ini, sehingga dapat sepenuhnya dijangkau oleh masyarakat, khususnya di daerah terpencil dan tertinggal.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pada tahun 2005 UNESCO melaporkan bahwa angka partisipasi PAUD Indonesia terendah di dunia. Hanya sekitar 20 persen dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun dapat menikmati PAUD. Dunia internasional mendefinisikan PAUD sebagai pendidikan bagi anak usia 0-8 tahun, sedangkan di Indonesia kategori PAUD berlaku bagi anak usia 0-6 tahun. Menurut Depdiknas, jumlah anak usia dini di Indonesia hingga akhir tahun 2006 tercatat sebanyak 28.364.300 anak yang telah mengikuti pendidikan PAUD, baik melalui jalur formal, non formal, dan informal, sebanyak 13.223.812. Dengan demikian, baru 43 persen anak Indonesia yang memperoleh akses terhadap PAUD.

Sumber : http://www.worldvision.or.id/images/article/187/FactsheetPENDIDIKAN.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar