Kebetulan
saya tinggal di daerah pinggiran Kota Bogor, daerah yang belum sepenuhnya
terjamah oleh pendidikan yang cukup. Di sekitar tempat saya mengajar masih
banyak anak-anak yang belum menuntaskan kewajiban pendidikannya, seperti belajar
CALISTUNG (Baca Tulis dan Hitung). Anak-anak di sini hanya mengenal sawah,
bercocok tanam atau berkeliling menjajakan kayu bakar dan dagangan lainnya, yang
jauh dari hak mereka untuk mengenyam ilmu pendidikan.
Saat
pertama kali saya mengajar, saya fikir saya akan menemukan anak-anak yang
terlihat kompak berseragam dan bersepatu tertutup. Ternyata perkiraan saya
salah, hampir sebagian anak di daerah tersebut tidak mampu untuk membeli
perlengkapan sekolah, salah satunya adalah seragam dan sepatu.
Anak-anak
yang saya lihatpun umurnya telah melampaui batas pendidikan anak usia dini
(PAUD), mayoritas berumur 3 tahun tetapi ada pula yang berumur 6 tahun, 7
tahun, bahkan 9 tahun. Alasan orang tua mereka memasukkan anak-anaknya kedalam
PAUD karena hanya untu sebagai syarat agar dapat membaca, menulis dan
menghitung, agar dapat berbaur di masyarakat luas nantinya. Adapula alasan
lainnya seperti agar anak mereka tidak mudah untuk dibodohi oleh orang lain.
Berbagai
alasan menjadi salah satu pendukung bagi orang tua disana untuk mengajarkan
anak-anak mereka agar mau belajar, walaupun hanya sekedar baca, tulis atau
hitung. Sebenarnya menurut salah satu situs yang saya kutip tentang pendidikan
yang didalamnya menjelaskan banyak hal yang dapat menyadarkan masyarakat tentang
pentingnya pendidikan.
Pendidikan
Wajib Belajar
Program
wajib belajar (wajar) 9 tahun telah dicanangkan sejak tahun 1994 dengan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tanggal 2 Mei 1994. Ini merupakan kelanjutan
dari program wajar 6 tahun yang ditetapkan pada 2 Mei 1984.
Tahun
2008 telah ditetapkan pemerintah sebagai tahun akhir di mana wajib belajar
harus dituntaskan (Inpres No. 5 tahun 2006). Agak berbeda dengan data dari
badan internasional, Departemen Pendidikan Nasional mencatat bahwa Angka
Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar (SD) akhir tahun 2007 mencapai 94,90
persen, sementara Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar
92,52 persen. Angka ini telah mendekati target pencapaian sebesar 95 persen. Meski
demikian, lebih dari 900 ribu anak masih membutuhkan pendidikan kesetaraan pada
tahun 2008. Selain itu, dari sekitar 200 ribu anak berkebutuhan khusus usia
SD/SMP yang terdata hanya sekitar 55 ribu orang (25 persen) yang bersekolah. Pada
dasarnya urusan pendidikan yang adalah hak untuk semua tidak hanya berkisar
pada perhitungan APM dan APK semata, namun terlebih harus menukik pada
pemastian kualitas pendidikan itu sendiri terhadap peserta didiknya. Banyak
kalangan menilai sistem pendidikan di Indonesia belum dapat membekali anak
dengan kompetensi dasar yang diperlukan untuk mempertahankan dan mengupayakan
kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Tidak memadainya anggaran yang
dialokasikan untuk pendidikan menjadi salah satu kendala untuk mengupayakan
peningkatan kualitas pendidikan. APBN 2008 mengalokasikan dana sebesar Rp 49,4
triliun dari total belanja negara sebesar 826,9 trilyun. Angka ini belum
memenuhi kuota sebesar 20 persen seperti yang telah disepakati bersama oleh pemerintah
dan DPR. Kurangnya pendanaan untuk pendidikan terlihat pula dari rendahnya anggaran
untuk program wajar. Sebagai contoh, tahun 2005, Depdiknas menganggarkan Rp
5,848 triliun. Dana tersebut tidak mencukupi kebutuhan 29 juta anak usia
sekolah dasar karena minimal dana yang harus dikeluarkan per anak setiap
tahunnya adalah Rp 1 juta. Sebagian besar orangtua juga tidak mampu menanggung
biaya pendidikan anak-anaknya. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas
tahun 2003, beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar
63,35-87,75 persen dari biaya pendidikan total. Biaya yang ditanggung
pemerintah atau masyarakat (selain orang tua/siswa) hanya berkisar antara 12,22-36,65
persen. Akibatnya, tidak sedikit anak yang putus sekolah. Pada tahun 2007, data
Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka putus sekolah di tingkat SD dan
MI sebanyak 684.967 anak. Angka ini turun dibandingkan tahun sebelumnya yang
sebesar 702.066 Kendala biaya kerap menjadi faktor utama penghalang anak mengakses
pendidikan. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2003 menunjukkan 67
persen masyarakat menyatakan bahwa ketiadaan biaya memaksa mereka memutuskan
tidak bersekolah atau putus sekolah. Faktor lainnya adalah larangan orangtua, keharusan
anak bekerja menopang kehidupan keluarga serta faktor geografis. Masih kuatnya
anggapan masyarakat bahwa pendidikan terakhir cukup hanya sampai SD amat
menghambat pencapaian pendidikan untuk semua. Kenyataan ini membuktikan bahwa
pendidikan SD benar-benar menjadi satu-satunya kesempatan bagi anak dari
keluarga dan masyarakt miskin untuk mengenyam pendidikan formal. Karena itu
peningkatan kualitas pendidikan SD menjadi sebuah keharusan. Ini menjadi
tantangan tersendiri bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk mengupayakan
pendidikan dasar berkualitas yang mampu membekali anak dengan keberaksaraan fungsional
guna mengembangkan kehidupannya secara optimal. Persoalan tenaga pendidik
menjadi pemicu lain rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2004
hanya 44 persen guru SD berpendidikan D2, 41 persen berpendidikan SPG, dan 9
persen bergelar sarjana. Guru SMP berpendidikan sarjana pun hanya sekitar 50
persen. Faktor penghambat lainnya adalah keengganan bersekolah, buku pelajaran
yang kurang dan mahal serta ketidaksetaraan jender ikut memberi sumbangsih
tersendiri. Reformasi buku murah yang akan diluncurkan Depdiknas pada
pertengahan tahun 2008 merupakan terobosan untuk mengatasi kurangnya kuantitas
dan mahalnya harga jual buku. Pembelian hak cipta ratusan buku teks pelajaran
SD hingga SMA sesuai standar penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
dan pemberian kebebasan bagi siapapun untuk mengakses buku-buku tersebut secara
online menunjukkan bahwa perjalanan memperjuangkan peningkatan kualitas
pendidikan telah dimulai. Dari reformasi ini diharapkan harga jual buku
pelajaran hanya tinggal sepertiga dari harga yang ada sekarang ini, sehingga
dapat sepenuhnya dijangkau oleh masyarakat, khususnya di daerah terpencil dan
tertinggal.
Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD)
Pada
tahun 2005 UNESCO melaporkan bahwa angka partisipasi PAUD Indonesia terendah di
dunia. Hanya sekitar 20 persen dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun dapat menikmati
PAUD. Dunia internasional mendefinisikan PAUD sebagai pendidikan bagi anak usia
0-8 tahun, sedangkan di Indonesia kategori PAUD berlaku bagi anak usia 0-6
tahun. Menurut Depdiknas, jumlah anak usia dini di Indonesia hingga akhir tahun
2006 tercatat sebanyak 28.364.300 anak yang telah mengikuti pendidikan PAUD,
baik melalui jalur formal, non formal, dan informal, sebanyak 13.223.812.
Dengan demikian, baru 43 persen anak Indonesia yang memperoleh akses terhadap
PAUD.
Sumber
: http://www.worldvision.or.id/images/article/187/FactsheetPENDIDIKAN.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar