Sebuah Janji
Pada tahun 1989 terjadi
gempa bumi berskala 6,9 SR di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedikitnya
63 orang tewas dan ratusan terluka dalam bencana ini yang terjadi hanya
dalam waktu 15 detik.
Ada seorang ayah yang meninggalkan
istrinya di rumah setelah kondisinya dirasa aman, lalu ia buru-buru
pergi ke sekolah anaknya. Setibanya di sana, ia mendapati gedung sekolah
sudah dalam kondisi mengenaskan.
Begitu menghapus rasa
terkejutnya, sang ayah teringat akan janji yang diucapkannya pada
anaknya: "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu!" Ia lalu
mulai memikirkan rute jalan yang biasanya dilalui sang anak menuju
kelasnya setiap pagi. Ia mencoba mengingat-ingat letak kelas anaknya
yang kemungkinan berada di sudut kanan belakang gedung sekolah. Ia pun
segera berlari ke sana dan mulai menggali reruntuhan gedung.
Selagi ia terus menggali, datang orangtua lainnya yang putus asa dan
memanggil nama anaknya. Orangtua lain yang bermaksud baik berusaha
menarik si ayah itu dari sisa bangunan sekolah yang mengenaskan, dengan
berkata, "Sudah terlambat!"; "Mereka semua sudah meninggal"; "Kau tidak
mungkin bisa menolong! Pulang sajalah!"; "Terima saja kenyataannya,
tidak ada lagi yang bisa kau lakukan!" Si ayah menjawab semua komentar
itu dengan ucapan, "Maukah Anda bantu saya sekarang?" dan setelah itu,
ia melanjutkan penggaliannya demi sang anak.
Kepala dinas
pemadam kebakaran tiba di tempat dan mencoba menarik si ayah itu dari
reruntuhan bangunan sekolah dengan berkata, "Sudah mulai ada percikan
api, terjadi ledakan di mana-mana. Anda dalam bahaya. Kami akan
menangani masalah ini. Anda lebih baik pulang saja."
Lalu,
seorang polisi datang dan berkata, "Anda itu sedang marah dan cemas.
Semuanya ini sudah berakhir. Anda bisa membahayakan orang lain. Pulang
sajalah. Kami akan menyelesaikan masalah di sini!"
Dengan berani, si ayah masih terus menggali karena ia perlu tahu: apakah anak lelakinya masih hidup atau sudah meninggal.
Delapan jam sudah berlalu, dan si ayah masih terus menggali... 12
jam... 24 jam... 36 jam... lalu di jam ke-38 ia mengangkat sebongkah
besar batu dan mendengar suara anak lelakinya.
Ia memanggil nama anaknya: "ARMAND!"
Anak itu balas berteriak, "Ayah!?! Ini aku, Yah! Aku bilang ke
anak-anak yang lain supaya tidak cemas. Kubilang kalau Ayah masih hidup,
kau akan menyelamatkan aku. Dan begitu Ayah menyelamatkan aku, mereka
juga akan diselamatkan. Ayah kan pernah berjanji, Apa pun yang terjadi,
Ayah akan selalu ada untukku! Dan Ayah sudah penuhi janji itu!"
"Bagaimana kondisi di sana? Ada berapa anak?" tanya si ayah.
"Kami tinggal ber-14 dari 33 anak, Yah. Kami ketakutan, lapar, haus,
dan bersyukur Ayah ada di sini. Waktu bangunan sekolah ambruk, ternyata
runtuhannya membentuk segitiga. Dan itu menyelamatkan kami."
"Ayo, sekarang keluarlah, Nak!"
"Tidak, Yah! Biarkan anak yang lain lebih dulu karena aku yakin Ayah
akan menolongku! Apa pun yang terjadi, aku tahu kau akan selalu ada
untukku!"
____________________
Bagi sebagian orang,
sebuah janji hanyalah janji tanpa merasa perlu untuk memenuhi janji yang
telah diucapkannya itu. Seandainya si ayah dalam kisah di atas juga
punya sikap mental seperti itu, pasti ia akan langsung menyerah begitu
melihat kondisi mengenaskan bangunan sekolah. Janji pada anaknya akan
diabaikan begitu saja, sehingga penantian si anak akan pertolongan sang
ayah menjadi sia-sia. Dengan begitu, ceritanya akan memiliki akhir yang
berbeda.a